Sepasang Sosok yang Menunggu, Gulat Batin dan Lingkar Personifikasi


Sebuah karya sastra, baik itu cerpen maupun novel, sesungguhnya hanyalah mimesis dari kehidupan manusia. Sebagai mimesis tokoh-tokoh yang membangun unsur cerita, tidak harus seorang manusia. Namun, tokoh tersebut bisa berupa binatang atau bahkan benda mati, seperti boneka. Hal terpenting dalam menduplikasi kehidupan adalah esensi dan makna yang terkandung dalam cerita itu sendiri, tak peduli apa wujud pelakunya.

Budi Darma (2004: 46) menyatakan bahwa ada hakikatnya, tiruan atau mimesis dalam arti sebenarnya tidak ada. Sastrawan pasti, sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles, terlibat dalam proses kreatif. Di satu pihak pengarang tidak mungkin melepaskan diri dari realita, namun di pihak lain sastrawan melakukan kreasinya sendiri. Semua karya sastra, dengan demikian, mau tidak mau merupakan fiksi (bahasa Indonesia: cerita rekaan), yaitu karya yang megandung imajinasi seniman

Berbicara pada proses kreatif, maka kita akan dihadapkan pada sikap kreatif itu sendiri, salah satunya dengan modifikasi tokoh. Budi Darma (2004: 36) menyatakan bahwa sastra, baik sebagai kreativitas penciptaan (literature) maupun sebagai studi sastra (literary study/literary studies) berusaha pula untuk mencari kebenaran, dan kebenaran itu, karena produk manusia, selalu berupa kebenaran relatif.

Dari pengertian tersebut, kita mampu mengambil satu konklusi, bahwasannya, setiap karya sastra pasti mengusung satu kebenaran yang dibawa oleh penulisnya. Namun, kita juga harus menyadari bahwa kebenaran tersebut subyektif, tergantung siapa yang berbicara dan apa kepentingannya. Penyampaian kebenaran ini agaknya, juga coba diusung penulis secara halus, lewat tokoh dan juga konfliknya.

Tokoh dalam cerpen “Sepasang Sosok yang Menunggu” karya Norman Erikson Pasaribu, yang dimuat dalam harian Kompas, 9 September 2012 agaknya membawa kita pada dunia dewasa serta kanak-kanak sekaligus. Pergulatan dalam diri Jack, agaknya mampu menghadirkan satu gambaran baru tentang sosok ayah. Sedangkan keberadaan barbie dan boneka babi, mampu merujuk pada dunia si kecil yang penuh dengan kepolosan dan main-main.

Semua gambaran dan juga bahasa yang digunakan, sepertinya hendak mengilustrasikan dan membawa pembaca pada dunia pengarang. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi pemikiran Pradotokusumo (2005: 39) yang menyebutkan bahwa setiap ungkapan bahasa, juga sebuah teks, mengacu pada sesuatu. Seperti setiap sistem tanda (ingat sistem tanda lalu lintas), bahasa pun mempunyai fungsi acuan. Apa yang diacu oleh teks merupakan bagian gambaran mengenai dunia yang ada dalam angan-angan kita. Pesan itu kita kaitkan dengan sebagian besar pikiran, perasaan, dan ide-ide mengenai dunia yang ada dalam angan-angan kita.

Lebih spesifik lagi, kalau kita mengacu pada tokoh dalam cerpen ini. Kita akan mendapati bahwa tokoh sentral, bukanlah seorang manusia atau makhluk hidup, melainkan benda mati yang dibuat seolah-olah hidup dan memiliki perasaan. Dalam sastra penggambaran benda mati yang seolah-olah hidup ini dinamakan majas personifikasi. Ini diperkuat oleh Wiyatmi (2009: 65) yang menyatakan bahwa personifikasi adalah kiasan yang menyamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa majas ini digunakan untuk memberikan efek memperjelas imaji pembaca karena dengan menyamakan hal-hal nonmanusia dengan manusia, empati pembaca mudah ditimbulkan karena pembaca merasa akrab dengan hal-hal yang digambarkan atau disampaikan dalam karya sastra.

Kalau kita perhatikan, cerpen ini sarat dengan personifikasi. Bahkan, pada bagian eksposisi sudah dihadirkan personifikasi yang begitu kental. Ini terlihat dalam kutipan “Kita akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup kita”. Sekilas kita tidak akan mengetahui, kalau yang dimaksud dengan kita adalah sepasang boneka.

Kebingungan pembaca akan semakin menjadi, ketika mengetahui bahwa mereka mengalami satu situasi yang berlatarkan jas Jack. Lantas mengapa mereka di simpan di lemari? Dimasukkan ke dalam kotak? Lantas muncul satu tokoh bernama Mary. Dari situ, kita baru menyadari ketika kertas kado disobek dan wadah dibuka, bahwa sepasang sosok tadi nyatanya bukan manusia, melainkan sebuah benda, lebih tepatnya benda mati.

Lebih jauh dari itu, mereka juga memiliki perasaan dan kontak batin. Hal ini terlihat dalam kutipan “Aku ingat kamu pernah mengatakan bahwa kata-kata sering kali gagal saat kamu mencoba mengungkapkan perasaanmu kepadaku. Dengan Mary, kita bisa membagi perasaan tanpa berkata-kata. Aku, kau, dan Mary telah mengalahkan kata-kata.” Kepemilikan atas perasaan ini juga kita tangkap dari perasaan Barbie yang merasa kesepian, mereka yang menunggu, mereka yang merasa kagum, serta mereka yang kehilangan. Keseluruhan cerita ini mengingatkan saya pada sebuah film televisi berjudul “Toys Story”. Bahkan timbul kecurigaan, kalau cerpen ini lahir karena terinspirasi film tersebut. Hubungan seseorang dengan benda mati juga mengingatkan saya pada cerpen Eko Triono, yang berjudul Pernikahan Tuan Mensen yang Mengejutkan, yang dimuat di jurnal Kreativa tahun 2011.

Meski sedikit sulit terpahami, namun cerpen ini memuat pesan kehidupan universal. Dominasi pemikiran subyektif coba diangkat. Dari cerpen ini, saya menarik satu benang merah mengenai esensi hidup. Hidup adalah seni untuk belajar memahami orang lain dan kehidupan itu sendiri.

Pertama berkaitan dengan wujud tokoh itu sendiri, yaitu boneka. Boneka umumnya digambarkan sebagai seseorang yang tak memiliki daya, dia tak dapat menggugat ataupun membela diri ketika orang lain memperlakukannya secara tidak baik. Namun satu sisi tersebut, nampaknya dapat menjadi hal yang indah, ketika kita menemukan fakta bahwa mereka berdua adalah dua sosok yang kontras. Barbie dan Babi. Saya yakin, bahwa penulis tidak serta merta tanpa alasan memasukkan dua tokoh tersebut. Bukan karena namanya yang berbeda, melainkan pesan yang ingin disampaikan. Penulis mungkin ingin menghadirkan gambaran cinta universal, cinta yang tak memandang kasta, kasih sayang yang tulus. Barbie dan Babi ibarat Puteri dan Pangeran Kodok. Sekalipun mereka adalah benda mati, yang tak memiliki kuasa untuk menyingkir, namun dari percakapan yang mereka lakukan, mereka cukup rukun dan saling mengasihi.

Kedua, agaknya cinta juga menjadi hal yang kompleks. Manusia terkadang sudah memiliki pendamping hidupnya, namun kadangkala dia masih berbicara cinta dengan yang lain. Hubungan antara Leona dengan Jack, agaknya bukan sekedar hubungan partner kerja antara seorang tukang sulap dan penjual minuman. Hal ini terlihat dari perkataan Leona berikut “Kenapa kamu kembali ke sini? Aku tak siap dengan apa pun yang melibatkan cinta.” Akan tetapi latar tempat yang digambarkan lembap dan penuh asap masih terlalu abstrak.

Ketiga, bahwa kenangan adalah bagian dari sejarah yang suka atau tidak suka, dia tidak dapat dihilangkan dari kronologi kehidupan. Kenangan selalu meninggalkan jejak. Hal ini terlihat dalam petikan “Kelak, setelah meninggalkan tempat itu kita akan selalu ingat pada bau tengik kucing pada lorong dan suasana ketika Jack menunggu pintu untuk dibukakan.”

Keempat, saling memahami dan mengerti kehidupan orang lain, lebih penting dibandingkan dengan komunikasi verbal, lisan. Sebab dengan saling menghormati, maka kehidupan bisa berjalan dengan harmonis. Perasaan adalah bahasa universal yang paling memungkinkan untuk menciptakan keterikatan batin. Hal ini tergambar dari petikan “Aku ingat kamu pernah mengatakan bahwa kata-kata sering kali gagal saat kamu mencoba mengungkapkan perasaanmu kepadaku. Dengan Mary, kita bisa membagi perasaan tanpa berkata-kata. Aku, kau, dan Mary telah mengalahkan kata-kata.”

Kelima, kadang kita hanya melihat seseorang dari sudut pandang kita. Bagi sebagian dari kita, kebenaran terasa sangat subyektif. Apa yang benar menurut kita, bukan berarti benar menurut orang lain. Berbagai praduga seringkali kita lemparkan, tanpa mengklarifikasi orang yang bersangkutan. Ini terlihat ketika Mary dibawa pergi oleh tiga sosok berbaju putih dan bersayap (yang terduga malaikat pencabut nyawa), dua boneka tersebut kecewa dan menyalahkan Jack, padahal Jack sendiri merasa kehilangan atas kepergian/kematian Mary. Sikap subyektif dalam melihat permasalahan orang lain pun terlihat ketika Jack tidak berusaha untuk mencopot sepatu Barbie, karena dia tahu sepatu itu memang tak mungkin untuk dilepas.

Keenam, kehilangan mampu membuat kita menjadi orang yang tersuruk, namun akan lebih baik ketika kita mampu memahami kehilangan sebagai moment untuk bangkit dan menunjukkan cinta. Hal ini terlihat dari sikap Jack yang suka keluar malam, mengamuk, dan suka minum-minuman keras. Namun satu kesadaran, membawa dia mengajak Jane untuk duduk bersama dan menyampaikan maksud untuk mendirikan satu toko boneka. Toko boneka tersebut dia dirikan sebagai wujud cinta kasihnya terhadap Mary, sekaligus mengenang putri kesayangannya itu.

Ketujuh, eksistensi manusia terlihat ketika dia dapat diterima dan berada di kelompok yang sama dengan dirinya. Hal ini terlihat dari tokoh Barbie yang sempurna namun sendirian. Dia merasa kesepian, karena tidak memiliki teman yang sama. Dia menunggu untuk dijemput, begitu juga dengan boneka Babi.

Kedelapan, waktu terus berjalan, begitu pun hidup harus diteruskan. Ini terlihat bagaimana Jack kehilangan Mary, kemudian mencoba melupakan kejadian menyedihkan tersebut dengan membangun toko boneka. Bahkan di suatu musim dingin, dia juga kemudian kehilangan Jane, istrinya. Dengan penuh ketabahan hati, dia kemudian mengubah nama toko bonekanya menjadi “Toko Mainan Mary dan Jane”. Di usia tuanya yang sudah semakin uzur, dia pun menemui kematiannya. Ternyata, konsep meneruskan hidup tidak hanya berlaku bagi Jack, namun juga sepasang boneka yang ada di etalase toko miliknya. Barbie dan Babi, setelah kehilangan pemilik, mereka juga harus menghadapi kenyataan dengan menjadi pajangan tanpa punya pemilik yang baru. Dia kehilangan Jane, kemudian kehilangan Jack juga. Selain itu, mereka masih harus terus melanjutkan hidup, dengan menunggu seseorang yang peduli… di akhir cerita terdapat satu simbolisasi bintang berjumlah tiga. Hal ini bisa merujuk pada malaikat yang mengambil Mary, bisa juga merujuk pada Mary, Jane, dan Jack.

Kesembilan, hidup itu tidak pernah mampu melepaskan diri dari takdir, sekuat apapun kita mencoba meloloskan diri. Hal ini terdapat dalam simbolisasi di sepatu Barbie. Sepatu berwarna hitam. Hitam pun menunjukkan sesuatu yang tidak menyenangkan, atau takdir yang tidak baik. Begitu pun sebagian besar dari kita, yang menganggap Tuhan tidak adil karena memberikan sesuatu yang tidak kita harapkan. Akan tetapi, sekuat apapun kita terlepas dari semua itu, kita tidak akan dapat. Tuhan lah yang memiliki hak prerogatif dalam menentukan itu semua. Ketetapan Tuhan pun tersimbolisasi dalam bentuk lem. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut “Di awal kita mengenalnya, Mary pernah mencoba melepaskan sepatumu. Dia gagal melakukannya. Kaki dan sepatumu pastilah direkat dengan lem paling ajaib di dunia.”

Gulat batin tokoh juga tersisip dalam cerpen ini. Hal ini tercermin dalam petikan “Kita akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup kita.” Dalam kutipan tersebut kita dapat melihat bagaimana sosok Barbie sebenarnya memiliki kebimbangan. Bagaimana dia menengok dan menatap, menunjukkan bahwa ada semacam ganjalan hati, ada kebimbangan yang hendak dia bagi.

Degup jantung dan nafas yang memburu, boleh jadi satu indikator pergulatan batin yang cukup umum dialami seseorang. Begitu pun dengan apa yang dialami oleh Jack. Kejadian itu bermula ketika dia mengetok pintu Leona, menunggu, kemudian mendapatkan boneka. Bisa jadi degup jantung itu tercipta karena pembicaraan Leona yang menyinggung masalah cinta, bisa jadi karena ketergesa-gesaannya, atau karena perasaan bahagia yang membuncah mengingat dia sudah mendapatkan boneka yang diinginkan oleh Mary.

Berhubungan dengan kado ulang tahun itu pun sebenarnya Jack memiliki alasan tersendiri. Dia mati-matian mengusahakan kado untuk Mary, karena dia tahu Mary sakit. Kemungkinan besar, dia juga sudah tahu bahwa umur Mary tinggal sebentar lagi. Terlihat dari cerita Lena yang menyinggung kalau Mary kejang lagi. Dia sangat ingin menjadi ayah yang bertanggung jawab dan menyayangi keluarganya.

Pergulatan batin juga dialami oleh boneka-boneka itu, yaitu persoalan melepas sepatu dan kepergian Mary. Mereka dapat melihat apapun yang dilakukan Jack, ingin mengkomuni-kasikan sesuatu kepada lelaki tua itu, namun tetap tak bisa tersampaikan. Mereka ingin melakukan sesuatu kepada Mary untuk menolong, namun mereka tak dapat melakukannya. Begitu pun ketika seseorang ingin mengambil Boneka Barbie, namun dia tak memiliki kuasa apapun untuk mengusulkan diri agar dibawa serta. Maka, di dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan.

Itulah cerpen “Sepasang Sosok yang Menunggu”, yang mampu menghadirkan tidak hanya cerita, namun juga sosok tokoh yang unik, kolaborasi antara manusia dengan boneka. Selain itu, hadirnya nilai-nilai kehidupan pun semakin memperkaya esensi cerpen ini. Belum lagi, berbagai pergulatan batin yang dihadirkan penulis, terasa menggelitik. Meskipun demikian, cerpen ini tergolong susah untuk diurai secara komprehensif.

 

 

Daftar Pustaka

 

Budi, Darma. 2004.  Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Derpartemen Pendidikan Nasional

Pradotokusumo, Partini. S. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT Grameadia Pustaka

Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher

Leave a comment