Peningkatan Kemampuan Literasi Sebagai Upaya Menangkal Hoax


Hoax adalah berita bohong yang secara sengaja (by design) disebarkan dengan tujuan-tujuan tertentu. Seiring berkembangnya generasi milenial di Indonesia, maka penyebaran hoax pun semakin meningkat. Hal ini erat kaitannya dengan peningkatan jumlah pengguna media sosial. Dalam survei yang dipublikasikan pada bulan Februari tahun 2017 oleh Masyarakat Telematika Indonesia, 92,40% responden mengungkapan bahwa media sosial menjadi sarana penyebaran hoax yang paling banyak digunakan.
Hoax memiliki beberapa ciri-ciri. Adapun ciri-ciri berita hoax antara lain: 1) berita hoax biasanya berasal dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, 2) hoax juga seringkali menyasar nama-nama besar, baik personal maupun instansi, dan 3) hoax cenderung berkaitan dengan hal-hal yang heboh sehingga memicu perhatian masyarakat. Kehebohan inilah yang menyebabkan hoax menjadi begitu mudah terekspos, viral, dan dipublikasikan secara massif. Ciri-ciri hoax tidak lepas dari salah satu sifat hoax yang berupa propaganda, menyasar sebanyak mungkin orang untuk mempercayai berita bohong tersebut.
Karena begitu massif, hoax yang hanya berawal dari iseng, akhirnya berkembang menjadi destruktif. Adanya trend peningkatan hoax menjadi indikasi serius betapa buruknya kondisi keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat. Hoax juga menjadi ancaman terbesar persatuan, ketertiban, keamanan, dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sifat destruktif dari hoax sangat berkaitan erat dengan jenis isu yang dibawa. Berdasarkan laporan Masyarakat Telematika Indonesia pada tahun 2017, urutan jenis hoax yang beredar di Indonesia adalah hoax sosial politik, SARA, kesehatan, makanan dan minuan, penipuan keuangan, IPTEK, berita duka, candaan, bencana alam, dan lalu lintas. Hoax sosial politik menyebabkan masyarakat terpecah belah dan terkotak-kotak. Masyarakat yang melabeli diri eklusif kurang memahami bahwa hoax menyebabkan iklim demokrasi dan perpolitikan di Indonesia yang tidak sehat. Adanya perang hoax antar masyarakat menunda beberapa agenda pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah.
Hoax mengenai SARA mengakibatkan perpecahan antar suku, ras, dan agama. Selain itu, hal ini juga mengakibatkan peningkatan konflik antar golongan. Hoax soal kesehatan seringkali mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat pada dunia kedokteran dan ranah ilmiah. Sementara itu, hoax mengenai makanan dan minuman jelas merugikan produsen, distributor, dan konsumen. Produsen dan distributor akan dirugikan secara materiil, sementara konsumen akan dirugikan secara psikologis (termasuk dalam hal ini kepanikan dan tekanan psikologis karena adanya keyakinan bahwa makanan atau minuman yang dia konsumsi berbahaya). Adanya hoax menyebabkan tumbuhnya persaingan yang tidak sehat antar pellaku usaha. Selain hoax di atas, ada pula hoax penipuan keuangan. Hoax penipuan keuangan sangat jelas merugikan secara materiil. Hoax mengenai IPTEK pun tak kalah berbahaya. Beberapa orang sempat viral karena dianggap menjadi manusia super, penemu ilmu pengetahuan, atau hal lain. Beberapa lembaga riset bahkan banyak yang kemudian memutuskan untuk menjadi penyandang dana dan sponsor. Hal ini jelas merugikan para ilmuwan dan peneliti yang benar-benar menjalankan pekerjaannya dengan penuh dedikasi. Bagaimanapun berita hoax akan menpertinggi sikap skeptis seseorang terhadap ilmu pengetahuan.
Penyebaran hoax menjadi salah satu permasalahan masyarakat era milenial. Dibandingkan dengan penyebaran hoax dalam bentuk cetak, penyebaran hoax di dunia maya memiliki intensitas yang jauh lebih tinggi. Salah satu yang tertinggi adalah penggunaan grup What App untuk menyebarkan berita-berita yang tidak terpercaya. Sebagaimana yang sudah disampaikan di atas, bahwa hoax adalah penyebaran berita bohong untuk tujuan tertentu. Karena memiliki tujuan inilah, penyebaran hoax dilakukan secara sistematis. Maka, penanggulangan terhadap bahaya hoax pun juga harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan.
Untuk paham sebuah informasi merupakan hoax atau bukan, maka hal yang paling penting dilakukan adalah memberikan edukasi terhadap masyarakat. Edukasi yang paling penting adalah menumbuhkan kesadaran untuk melakukan penelusuran kebenaran suatu berita. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi hoax:
Pertama, yang paling mudah dilakukan adalah dengan menahan diri untuk tidak menyebarkan sesuatu yang belum diketahui pasti kebenarannya. Menahan diri bukan jaminan membuat kita tahu bahwa suatu berita benar atau tidak. Namun setidaknya, menahan diri mampu memperlambat laju penyebaran hoax. Selama ini, hoax tersebar dengan cepat karena ketidakmampuan seseorang untuk menahan diri membagikan kabar hoax baik di grup-grup Whats App maupun facebook.
Kedua, memanfaatkan dunia maya sebagai sumber informasi. Pencarian terhadap berita atau artikel-artikel kontra akan membuat pengguna media sosial lebih mawas diri terhadap setiap berita yang diterimanya. Contoh: seseorang membaca sebuah berita mengenai beras plastik, maka informasi yang harus dicari adalah tulisan yang menyangkal keberadaan beras plastik. Melalui langkah ini, maka seseorang bisa menentukan mana tulisan yang benar. Hal ini adalah cara paling dasar untuk seseorang menggali informasi lebih jauh.
Ketiga, seseorang harus mencari sumber tulisan atau berita yang valid. Awalnya, portal berita mampu menjadi referensi yang dapat dipercaya, karena mereka bekerja dengan kode etik jurnalistik. Sayangnya, belakangan portal media khususnya online pun justru menjadi sumber penyebar hoax yang berbahaya. Hal ini diperparah dengan peningkatan jumlah pengguna media sosial anak-anak, yang notabene belum mempertimbangkan keabsahan berita tersebut. Adanya fenomena hoax seharusnya menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk membuat regulasi yang jelas bersama dengan Dewan Pers, terutama berkaitan dengan portal berita yang melanggar kode etik jurnalistik. Pegiat media harus turut memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat, bukan hanya sekedar mengeruk keuntungan semata.
Keempat, apabila informasi valid sudah didapatkan, maka lawan hoax dengan kebenaran. Bagaimanapun hoax adalah sebuah gerakan, maka untuk memerangi gerakan ini harus ada keinginan yang kuat dengan mengcounternya melalui gerakan yang positif.
Kelima, karena sekarang masyarakat memasuki era digital, maka untuk memberikan perlawanan maka seseorang harus melek media. Mereka harus melek teknologi. Inilah poin penting dari gerakan mengedukasi masyarakat melek teknologi. Masyarakat harus dibiasakan untuk tidak hanya mengonsumsi informasi melainkan juga mengevaluasi informasi yang ada. Literasi teknologi akan membantu seseorang untuk menentukan kebenaran suatu berita.
Hal paling penting untuk menangkal bahaya hoax adalah dengan membuat gerakan nasional literasi membaca. Bagaimanapun membaca adalah salah satu hal penting yang dapat dimanaatkan untuk memperluas wawasan. Seseorang yang memiliki kegemaran membaca, cenderung lebih kritis dalam menanggapi hal tertentu, termasuk dalam hal mengevaluasi teks, konteks, dan unsur pragmatik yang terkandung dalam sebuah tulisan.
Membentuk jejaring dan kelompok-kelompok sadar hoax. Kelompok inilah yang nantinya dapat difungsikan untuk membentuk kultur penolakan terhadap hoax.
Hoax bukan hanya isu personal melainkan komunal. Menanggulangi hoax tidak dapat dilakukan sendiri. Artinya, butuh kemauan dan keseriusan semua pihak untuk bersama-sama menanggulangi hoax. Setidaknya ada beberapa pihak yang dirasa perlu bertanggungjawab untuk menekan munculnya hoax, beberapa pihak tersebut antara lain:
Pemerintah. Bagaimanapun pemerintah adalah pihak yang memiliki kekuasaan memaksa terhadap warganya. Regulasi yang tegas sudah sewajarnya diberlakukan kepada para penyebar hoax. Dalam hal ini pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 45A ayat 1 menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sementara itu, Pasal 45A ayat 2 menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sayangnya, penerapan atas pasal ini cenderung masih tebang pilih.
Masyarakat, media, dan diri sendiri. Ketiga unsur ini harus saling mendukung. Setiap orang harus memiliki kesadaran untuk tidak memberikan ruang pada hoax. Jika tak ada satu hoax pun bisa diciptakan, maka media tak akan memiliki celah untuk mengangkat hal-hal sensasional yang belum tentu kebenarannya.
Dunia pendidikan. Sebagai wilayah tempat kaum terdidik dibina, maka dunia pendidikan memegang peranan yang cukup penting dalam mengawas proses demokrasi dan kebebasan pendapat yang bersih, tanpa adanya berbagai kabar bohong yang simpang siur. Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh guru adalah mengintegrasikan pemahaman dan kesadaran antihoax di dalam pembelajaran. Pendidik harus mampu membangun kultur kritis, objektif, dan cover both side. Sebagaimana yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer, bahwa “Seorang terpelajar sudah adil sejak dalam pikir.” Jika seseorang bersikap adil, maka dia cenderung netral. Orang yang adil akan bijak untuk menaggapi berbagai informasi yang masuk padanya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membangun kultur ini adalah dengan membiasakan peserta didik untuk menggunakan media sosial secara benar. Untuk mencapai tahap ini, maka seseorang harus memiliki kemampuan literasi teknologi dan literasi membaca yang baik.
Hoax bukan sesuatu yang bisa ditiadakan. Memerangi hoax adalah kewajiban setiap bagian masyarakat. Di tengah Indoensia yang plural dan majemuk ini, upaya menangkal isu-isu yang begitu mudah untuk cepat berkembang di dalam masyarakat, mutlak diperlukan. Kembali lagi pada pernyataan awal, bahwa hal paling mudah untuk memerangi hoax adalah dengan tetap tenang menahan diri untuk tidak menyebarkan sebuah berita sampai diketahui dengan pasti kebenarannya. Jika ada salah satu mimpi indah untuk negeri ini, maka mimpi itu adalah Indonesia tanpa hoax.