Peninjauan Kembali Kebijakan KPAI dalam Kriminalitas Anak


Beberapa dekade terakhir, hak asasi manusia (HAM) menjadi isu strategis, tak terkecuali bagi anak. Hal itu tercantum dalam undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang berbunyi perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak sendiri menurut undang-undang yang sama adalah sekelompok orang yang berumur di bawah 18 tahun. Mengingat pentingnya perlindungan terhadap anak inilah, maka negara membentuk suatu instansi resmi yang dinamakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Komisi Perlindungan Anak memiliki fungsi dan tugas sebagai berikut: melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap pelanggaran perlindungan anak serta memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak. Hal ini sesuai dengan undang-undang nomor 23 tahun 2002 pasal 1 ayat 15 yang berbunyi Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Dalam pasal tersebut dijelaskan, bahwa upaya pendampingan yang dilakukan oleh KPAI salah satunya mencakup anak-anak yang terlibat dalam tindak kriminal.
Salah satu contoh kasus yang belum lama ini terjadi, seorang anak berumur 13 tahun melakukan penusukan terhadap teman sekolahnya sendiri sebanyak 8 kali. Dalam kasus ini KPAI meminta agar polisi bertindak hati-hati, karena kejadian melibatkan anak-anak. Segala bentuk tindakan kriminal yang melibatkan anak sebagai subyek, maka tersangka dianggap sebagai korban, yang bertangung jawab dalam tindakan tersebut adalah orangtuanya. Akan tetapi apabila kebijakan KPAI dalam memandang kriminalitas anak terus berlanjut, maka hal ini akan menambah masalah baru.
Pertama, langkah KPAI untuk mengesampingkan kekerasan patut diapresiasi. Akan tetapi, tanpa kekerasan bukan berarti mengabaikan efek jera. Selama ini anak dianggap sebagai manusia yang belum memiliki pola pikir, sehingga mereka terbebas dari hukuman. Akan tetapi dengan terbebasnya anak-anak ini, bagaimana mungkin asas keadilan bisa ditegakkan. Pembebasan bisa juga disebut dengan pembiaran kasus. Hal ini tentu menohok perasaan korban yang sesungguhnya. Kalau hanya mencuri sandal, mencuri kakao, atau memukul secara tidak sengaja tentu masih bisa dimaafkan, namun apabila tindakan yang dilakukan anak sudah mengancam nyawa, tentu keluarga akan sulit memaafkan tersangka. Di sinilah, aspek keadilan menjadi pertimbangan yang penting. KPAI boleh saja melindungi tersangka. Namun ketika KPAI mengabaikan korban, maka mereka sudah melakukan tindak kejahatan.
Kedua, keadaan anak bukan semata-mata tanggung jawab orang tua sebagai keluarga terdekat. Anak merupakan tanggung jawab lingkungan. Hal ini sejalan, ketika kita belajar ilmu sosiologi. Anak akan mudah melakukan imitasi, identifikasi kemudian menginternalisasikan yang ada di sekitarnya. Untuk itu akan sangat sia-sia, ketika kita membina anak, sementara kita tidak membina lingkungannya. Anak mungkin akan berubah menjadi baik, selama dia berada dalam penampungan. Namun ketika dia sudah kembali kepada lingkungan, maka lingkunganlah yang akan menentukan perkembangan anak. Kita semua tahu seberapa besar lingkungan mempengaruhi karakter dan kepribadian seseorang.
Ketiga, pembebasan hukuman terhadap kasus kriminal pada anak, akan memberikan stempel, bahwasannya kriminalitas yang dilakukan anak diperbolehkan oleh negara. Kebijakan KPAI boleh jadi menjadi legalitas untuk melakukan berbagai tindak kejahatan. Hal ini terjadi karena mereka merasa aman dan menganggap bahwa apapun yang mereka lakukan adalah benar di mata hukum. Ini akan berimbas pada meningkatnya budaya premasnisme dan psikopat-psikopat kecil. Apabila bibit-bibit kecil seperti ini tidak segera mendapatkan penanganan, maka konflik dan kekerasan yang berkembang di kalangan masyarakat akan semakin meluas. Kekerasan tidak hanya menjadi dominasi manusia dewasa, akan tetapi juga anak-anak di bawah umur. Dari data yang dihimpun oleh Kompas, kasus anak-anak yang berhadapan dengan hukum semakin tahun semakin meningkat. Hal ini terlihat dalam data yang menunjukkan bahwa tahun 2004 terdapat 4000 kasus, tahun 2006 terdapat 6000 kasus, sedangkan tahun 2011 terdapat 7000 kasus.
Keempat, perilaku kriminal anak tak pernah lepas dari model. Kita melihat tayangan-tayangan televisi seperti berlomba-lomba menghadirkan tokoh-tokoh antagonis, psikopat, dan kriminal. Kita selalu disuguhi kekerasan, tanpa ada ulasan mengenai dampak serta resiko yang harus ditanggung. Hal ini kemungkinan besar dijadikan sampel oleh anak, untuk melakukan tindakan kejahatan tanpa merasa bersalah. Mereka berpikir bahwa kriminalitas adalah hal yang sah dilakukan.
Untuk itulah maka KPAI sebagai lembaga resmi yang menangani seputar perlindungan anak, harus mampu bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, sehingga penanganan terhadap kriminalitas anak dapat memenuhi aspek keadilan bagi pihak tersangka maupun pihak korban. Dalam kaitannya dengan hukuman, memang benar bahwa pembinaan bisa menggantikan hukuman kurungan penjara, namun sebisa mungkin pembinaan yang diberikan pun mampu menumbuhkan kesadaran dan menciptakan efek jera bagi anak-anak yang lain.
Berkaitan dengan lingkungan, KPAI harus mampu ampu merangkul segenap elemen masyarakat, dari tokoh masyarakat, kalangan pendidikan, dan masyarakat itu sendiri. Hal ini dimaksudkan supaya masyarakat memiliki kesadaran untuk menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif bagi anak-anak.
Point keempat, sebisa mungkin KPAI bekerja sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia, untuk benar-benar memperhatikan hak-hak anak dalam memperoleh akses informasi yang ramah dan sehat. Jangan sampai televisi sealu dipenuhi dengan unsur-unsur kekerasan yang mampu menginspirasi anak-anak tersebut melakukan hal yang sama. Sebagai penutup, segala bentuk hukuman yang mendidik terhadap anak dalam lingkup kriminalitas pantas diparesiasi, namun pemerataan keadilan bagi seluruh pihak juga patut dipertimbangkan.

Catatan untuk Sang MahaDosen


Hari ini adalah hari yang benar-benar fuck, bagaimana tidak didahului dengan bangun terlambat dan mengantri kamar mandi (biasalah anak kost), dilanjut dengan dosen yang terlambat. Bagiku dari tiga mata kuliah hari ini cukup sempurna, didahului dengan mata kuliah yang kusuka dosennya dan diakhiri dengan mata kuliah yang kusuka materinya. Namun tidak bagi mata kuliah tengah, bukan aku tidak suka dengan mata kuliahnya, namun aku sangat tidak suka dengan cara mengajar dosen (alasan klasik mahasiswa banget ya?).
Baiklah akan kututurkan dengan detail dosen satu ini, piss anggap saja namanya Mr. X. Banyak kakak angkatan menuturkan bahwa dosen satu ini resek baik dalam mengajar maupun memberikan nilai (haiah sebegitunya). Padahal aku merasakan biasa saja meskipun kupikir beliau orang yang unik dan ANEH (underline bold times new roman 70). Beliau orang yang bagus dan memiliki posisi penting di dunia permahasiswaan, (kalau kak bagus mana mungkin dia jadi dosen). Namun dosen tetap saja manusia, dan manusia seperti yang kita ketahui bersama selain sebagai makhluk sosial juga makhluk yang memiliki karakteristik dan kepribadian sangat personal.
Pertama kuliah beberapa minggu yang lain aku langsung dikejutkan oleh cara mengajar beliau yang senang sekali menggebrak meja sambil senyum-senyum tanpa alasan sama sekali. Aku melihatnya seperti seorang remaja ababil, kalau saja ada pemilihan dosen ter ababil maka aku akan menominasikan beliau sebagai The Labil Lecturer of The Year. Pertemuan berikutnya semakin membuatku geli melihat tingkah kocak beliau yang tidak mencerminkan manusia dewasa (jangan dikira kocak di sini adalah suka humor, jauh dari kesan itu. Kau tahu yang namanya sindiran kawan? Ya itulah).
Eliau adalah sosok yang tidak menghargai mahasiswanya, sudah tahu kalau mencari buku yang diwajibkan beliau itu susah setengah mampus, eh jawabnya ada-ada saja “Saya gak mau tahu…” padahal nih ya, temen ane sudah muter2 seluruh Jogja, usut punya usut tuh buku uda gak diterbitkan, gilak aja mana dia gak mau tahu gak mau ada alasan pula. Astaga nasib nasib harus menghadap yang mahadosen kayak gini. Tapi rumornya kakak-kakak angkatan memang begitu, beliau termasuk dosen yang GJ abiss.
Tak hanya itu yang bikin aku menilai kalau beliau itu GJ, tadi sewaktu sedang mengajar di tengah-tengah beliau menyinggung sal psikologi pendidikan. Beliau bilang apakah kami tida pernah diajar psikologi pendidikan, yang beliau katakan kalau mau melakukan apa-apa itu harus riil jangan cuman bisa ngomong doang. Ngakak sumpah tapi intinya kek gitu. Lha bagaimana mungkin beliau mengatakan yang sedemikian hingga, ingin sekali aku bertanya “Pak dulu jaman kuliah dapat psikologi pendidikan tidak? Ngajar kok bikin mood mahasiswanya langsung jelek sejek-jeleknya”
Sebagai penutup tulisan ini, aku besok ingin menjad dosen yang baik hati dan dekat dengan mahasswa, tidak arogan dan berego tinggi, selain daripada itu aku juga tak ingin menjad dosen yang jadi omongan mahasiswanya d belakang. Titik. Selamat malam yak

Ibuku Masih Sama


Aku tak terlalu ingat ini tanggal berapa, yang aku ingat ini hari Minggu. Mengapa aku mengingatnya? karena hari ini aku harus balik ke Jogja, kota dengan segudang rutinitas, membosankan.
Aku bermalas-malasan sampai pukul 12, ya ampun, padahal aku belum packing segala sesatunya, seperti makanan yang akan aku bawa, barang-barang, buku-buku, dan belum lagi harus membereskan semua gadget yang bikin repot. kontan saja ibuku berkali2 mengingatkan aku untuk segera beres-beres.
setelah banyak makan ini itu, bahkan sampai kedatangan seorang keponakanku, aku masih belum beranjak, dari nonton film di kamar yang sengaja aku tutup kordennya dan aku kunci filmnya. eits bukan karena aku nonton fil porno, namun memang kalau nonton film aku lebihsenang untuk seperti itu privacy terjaga dan serasa seperti di dalam gedung bioskop. apa2an OOT.
Aku suda hampir 2 tahun menjadi penghuni Jogja, kota budaya, namun setiap kali aku ingin balik karena kuliah, ibu selalu merepotkan diri. Sekali lagi bukan merepotkan aku, tapi merepotkan diri. Aku juga tidak bermaksud merepotkan, namun tetep saa aku yang menjadi subyek kerepotan itu sendiri.
Bolak balik Jogja Purworejo bukan sekali dua kali ini saja. Mungkin sudah ratusan. Namun entah mengapa kerepotan yang sama selalu terjadi. Ibu selalu menanyakan kepadaku, apakah aku akan membawa sambal pecel atau membawa kering tempe, atau rese (ikan asin)? apakah aku butuh sesuatu atau tidak.
itulah kerepotan-kerepotan yang biasaya terjadi sebelum aku pulang, bahkan ketika aku masih di Jogja ibu sudah akan menanyai, besok kalau pulang mau dibuatkan apa. maka benar da hari sebelumnya ibu akan pergi ke pasar membeli kavcang, menggorengnya kemudian menghaluskan menggunakan lumpang yang dipinjam dari Mb Marni. Kalau aku sedang tidak capek atau sekedar ingin olahraga tangan, maka sesekali aku menggantikannya.
kesibukan belum usai sampai di sini, beliau akan membawakan aku apa saja yang ada di rumah, mulai cabai, bawang, garam, jeruk nipis, tomat, maklum saja aku sangat-sangat doyadengan sambal (buatan sendiri). Begitupun yang terjadi siang ini, selain hal tersebut aku juga sempat bilang kalau aku ingin membawa wortel, astaga benar saja, ibu memasukkan beberapa wortel ke dala kardusku, padahal beliau tahu kardusku sudah penuh sesak dengan beras, buku-buku, serta kering dan sambal kacang. Namun beliau tetap memaksa memasukkan eberapa wortel dan juga beberapa mentimunm, alhasil kardusku penuh sesak.
Aku sering menggerutu karena harus membawa barang yang lumayan berat, seperti sore ini aku sudah membawa tas besar berisi laptop, dan sekarang harus ditambah dengan membawa kards yang sarat akan barang. ah… namun itulah ibu, disela-sela menyiapkan bekalnya untukku, beliau selalu meminta maaf karena tak bisa memberikan banyak uang, aku masih ingat aku diberinya uang lima puluh ribu untuk perjalanan. Seali lagi beliau minta maaf, karena bapak belum lama kembali ke Jakarta, mungkin akan transfer kalau beliau sudah punya uang. Aku hanya tersenyum, kukatakan kepadanya kalau aku tak terlalu memikirkan uang.
Itula bu, beliau selalu melepasku pergi sebagaimana [pertama kali beliau melepasku ke Jogja seorang diri, beliau selalu direpotkan apakah aku sudah membawa charger, apakah dompetku tidak ketinggalan, simcard, hp, atau sebagainya. Beliau selalu menatapku speerti aku akan pergi jauh saja dalam watu yang lama. Dalam dekat selalu ada pertengkaran, namun selalu ada pula kerinduan di antara jarak yang memisahkan.

Okta Adetya/catatan malam